Senin, 24 Agustus 2009

Hari Koperasi 2008 & Satu Abad Kebangkitan Nasional


“Bahwa, suatu cita-cita yang besar dan mulia biasanya dapat dicapai oleh sedikit orang yang giat bekerja, sedangkan orang banyak akan ikut dibelakangnya”(Muhammada Hatta)

“Kita boleh bermimpi karena mimpi adalah setengah dari cita-cita, cita-cita adalah setengan dari agenda, agenda adalah setengah dari kerja keras, kerja keras adalah setengah dari keberhasilan” (Eep Syaifullah Fatah)

Membaca judul dari tulisan ini, terkesan bahwa hal tersebut sebagai suatu hal yang sangat kolosal, seolah-olah itu hanya angan belaka (utopis). Judul diatas juga hanya berbentuk fatamorgana di tengah kemiskinan dan kemelaratan rakyat Indonesia. Karena kenyataannya kita ketahui, koperasi yang diidam-idamkan tersebut terus berada pada posisi wacana dan perdebatan tanpa ada tindak lanjut yang nyata pada lapangan kehidupan bermasyarakat. Tidak hanya itu, wacana koperasi yang ideal tersebut miskin dari perhatian serta dukungan dari seluruh element-element bangsa yang ada. Atau yang lebih ironi lagi, koperasi hanya merupakan usaha yang digerogoti oleh pahan dan mekanisme kapitalisme yang cenderung lebih menonjolkan sisi individualistik, tidak seperti yang diharapkan oleh Hatta yaitu system perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan (kolektivitas).

Meninjau kembali jiwa koperasi adalah hal yang patut diperhatikan dan dipahami karena jiwa koperasi adalah “roh” (esensi) dari koperasi itu sendiri. Berbicara koperasi Indonesia, berarti kita tidak bisa lepas dari sosok Muhammad Hatta. Koperasi lahir dari cara berpikir dan pemahaman dialektika Hatta terhadap paham sosialisme, nilai keislaman yang egelitarian dan nilai ke-Indonesia-an yang kegotong-royongan.

Faham sosialisme merasuki pemikiran Hatta dapat dilacak ketika beliau menjadi pelajar dinegeri Belanda. Walaupun di belanda pada waktu itu sosialisme tidak begitu popular. Dapat dipahami mengapa hatta menaruh minat besar terhadap paham sosilisme ini. Hatta adalah seorang anak bangsa yang bangsanya sedang dijajah, tentu anak bangsa yang mempunyai kesadaran eksplisit terhadap kondisi bangsanya akan berusaha mencari formulasi pembongkaran terhadap penjajahan serta mengusir penjajahan, formulasi tersebut disediakan oleh sosialisme.

Sementara bagaimana paduan nilai ke-islaman pada koperasi dapat dilacak dengan mengikuti silsilah keturunan dan kehiudpan muda Hatta. Hatta adalah anak Minangkabau yang menganut falsafah hidup “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Falsafah hidup itu, sedikit banyaknya tentu membuncah dalam dada seorang Hatta. Sebagai dalil penguat berikutnya dari sisi keturunan, Hatta juga merupakan seorang cucu dari seorang Buya yaitu Buya Abdurrahman (1777-1899) yang mendirikan surau di Batu Hampar, luhak Limo Puluah Koto. Dari fakta itu dapat dijadikan indikasi bahwa Hatta lahir dan besar dilingkungan keluarga yang islami.

Tentang perpaduan dua Ideologi ini dalam diri Hatta, Jhon Ingleson Menyebutkan bahwa betapa teguhnya Hatta memegang dasar islam sebagai kepercayaan dan agamanya serta betapa hatta diperkuat dengan bacaan yang sistematis tentang Karl Marx, disebutkan juga bahwa pemahaman Hatta terhadap ajaran salah satu dedengkot sosialisme ini melebihi pemahaman orang Indonesia manapun. Hatta menekati usaha memadukan apa yang ia lihat sebagai implikasi social oslam dengan wawasan sosiologi dari Karl Marx, namun Hatta tidak pernah menganggap dirinya sebagai Marxisiii.

Lebih dari sekedar kepribadian Hatta yang mempengaruhi jiwa koperasi yang beliau cetuskan, sebenarnya jauh sebelum Hatta mencetuskan dan mempopulerkan koperasi, rakyat Indonesia telah memakai jiwa kekeluargaan dan kegotong-royongan (co-operatie) dalam kehidupannya untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Jiwa tersebut dipandang dan dirasakan dapat menciptakan keadilan social pada tataran masyarakat, begitulah jiwa bangsa ini dahulunya.

Muhammad Hatta digelari sebagai Bapak Koperasi Indonesia dengan pemikirannya yang cerdas telah dapat memadukan antara islam, sosialisme dan kelanjutan jiwa rakyat Indonesia kepada sebuah wadah yang memihak kepada kepentingan rakyat dalam sebuah system perekonomian rakyat, maka sampai sekarang jiwa dan wadah tersebut kita sebut koperasi. Tentu dalam mencetuskan dan mengembangkan konsep tersebut, Hatta selalu menyesuaikan dengan konteks ruang dan waktu pada masa itu, namun bukan berarti koperasi tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian.

Koperasi adalah salah satu bentuk penyeimbang antara kasta-kasta perekonomian yang ada, penyeimbang antara si kaya dengan si miskin. Namun lebih jauh daripada itu, sebenarnya dengan menghadirkan koperasi akan membentuk titik tengah yang akan menyeimbangkan antara pemodal yang menguasai pasar dan rakyat. Kapitalisme adalah keniscayaan hidup yang tak terbantahkan yang terus berkembang dan selalu dapat menyesuaikan diri dengan kondisi disekelilingnya, untuk itu agar laju kapitalis tidak menjadi orang yang “bejad”, maka solusi control dan penyeimbang dari kapitalis adalah sosialisme yang salah satu bentuknya koperasi yang di bahas ini. Dengan adanya keseimbangan tersebut, maka diharapkan tumbuh suatu perekonomian demokrasi yang sehat sehingga tidak membuat jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin (egalitar).

Koperasi mempunyai arti ke-gotong-royongan diatara sesama anggota masyarakat dalam rangka menggalang dan menghimpun dana. Keterbatasan dana merupakan cirri khas ekonomi rakyat bawah, dengan bersatunya rakyat maka dana-dana yang kecil tersebut akan menggunung dan besariv seperti pepatah, “sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit”, begitulah koperasi sebagai bentuk modal besar (kapital) rakyat untuk dapat bersaing dan berkopetensi dengan pemilik modal lainnya.

Berkaca pada pengalaman krisis 1997, dimana perekonomian rakyat bisa bertahan dari amukkan ganas krisis moneter, dimana banyak perusahaan besar yang dimotori oleh pemodal besar gulung tikar. Pengalaman tersebut adalah prestasi ekonomi kerakyatan untuk menopang perekonomian bangsa hingga tidak kolap hingga masuk keliang lahat peradaban dengan hancur serta tergadainya bangsa ini, bangsa ini masih bisa bernafas hingga saat ini karena rakyat dengan perekonomiannya yang tidak bisa dianggap remeh itu.

Koperasi sebagai bagian basis dari perekonomian rakyat perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar dari segenap penghuni nusantara ini. Bila tidak demikian, ancaman kolapnya bangsa ini semakin dekat dan dapat “dicium” pada saat ini. Dimana belum sembuh luka karena terkoyaknya perekonomian bangsa pada 1997 (kecuali ekonomi kerakyatan), ditambah lagi serentetan krisis global yang mempengaruhi Indonesia seperti krisis energi dan krisis pangan dunia.

Banyak pihak tentu menyadari akan hal itu, maka tentu akan berusaha bersuara dan untuk mengangkat taraf perekonomian rakyat pada taraf yang diperhatikan dengan serius guna menghadapi gelombang krisis global yang telah mulai dirasakan pada saat ini. Ekonomi kerakyatan adalah ekonomi yang berkesinambungan dan tidak mempunyai iktikad buruk untuk melukai bangsa seperti para spekulan (investor) kapitalis.

Antara semangat dan putus asa yang saling silang menghampiri, kita harus menyediakan tenaga ekstra agar terus dapat bersuara untuk koperasi, untuk ekonomi kerakyatan. Karena sekali lagi kita terhempas pada kenyataan bahwa pemerintah sampai saat ini masih kurang memperhatikan koperasi dan ekonomi kerakyatan sebagai pondasi dan wadah strategis untuk mengantarkan bangsa ini bangkit dari keterpurukan. Semoga beberapa moment yang ada akan terus memberi inspirasi untuk terus berjuang dan bertindak demi rakyat, bangsa dan Negara ini.

Tidak ada komentar: