Senin, 24 Agustus 2009

Reformasi Ekonomi Berbasis Koperasi; Masyarakat Harus Lebih Banyak Menabung untuk Membiayai Investasi

Belakangan santer dibicarakan konsep ekonomi neoliberal dan ekonomi kerakyatan sebagai hal yang saling berhadapan secara kontras. Seperti apa relevansi diskursus tersebut terhadap reformasi perekonomian nasional? Bagi penulis, reformasi ekonomi nasional harus meletakkan koperasi sebagai motor utama ekonomi mikro dan kecil di tingkat kota dan desa. Lingkup usaha koperasi yang menjangkau pertanian, pertambangan, perindustrian, perdagangan, dan jasa-jasa termasuk keuangan akan cepat membuka kesempatan kerja. Dan yang paling penting, distribusi pendapatan akan semakin merata. Untuk itu harus ada kemauan ekonomi dan politik untuk mewujudkannya.

Hingga kini koperasi lebih sekadar pelengkap ekonomi. Pada 2008 terdapat 148.000 koperasi di mana yang berkualitas hanya 42.000 (Kementerian Koperasi & UKM 2008). Dalam praktiknya pun sarat kasus muatan non-ekonomi yang ujung-ujungnya tak lebih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Koperasi tidak dapat tumbuh dan berkembang dalam sistem perekonomian yang berbasis pasar bebas. Ia harus dalam sistem campuran antara pemerintah dan pasar. Mazhab sistem perekonomian antara lain terbagi atas Classic dan Post Classic yang didominasi oleh Keynes. Classic menekankan bahwa mekanisme pasar bebas akan menciptakan keseimbangan atas alokasi sumber-sumber ekonomi (economic resources), produksi dan distribusi sehingga tidak seorang pun anggota masyarakat yang akan dirugikan (diperlakukan tidak adil). Teori ini terus berkembang hingga saat ini di mana salah satu teori yang sedang asyik diutak-atik adalah the economics of game theory. Istilah neoliberal ekonomi sebenarnya muncul dari penganut pasar bebas. Sebaliknya aliran Keynes menekankan pada peranan pro-aktif pemerintah demi ekuilibrium ekonomi. Ini karena mekanisme pasar bebas pada praktiknya tidak dapat berjalan seindah teorinya. Teori ini pun terus berkembang dikenal dengan nama Neo-Keynesian. Tak kalah dengan aliran Classic, teori ini pun sarat dengan matematika yang mengasyikkan. Kedua aliran ini tak pernah akur dan masing-masing mengalami pasang surut di kancah dunia pendidikan ataupun penerapannya. Penerapan Keynesian berhasil mengatasi resesi dunia 1930 dan melahirkan Bretton Woods. Amerika Serikat di bawah Presiden John F. Kennedy dan Richard Nixon menerapkan Keynesian untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi. Ternyata Keynesian tak dapat mengimbangi dinamika pergerakan sektor moneter. Lalu dipelopori oleh Prof Samuelson dengan teori Neo Classic Monetarism, Presiden Ronald Reagan dan PM Inggris Margarett Tacher menerapkan Classical Economics. Ajaran ini ternyata mengakibatkan fluktuasi investasi dan kesempatan kerja dan pada 1982 tidak dipakai lagi.

Sulit Bedakan 

Kegagalan Keynesian melahirkan Neo Keynesian begitu pula dengan Classical dengan Neo Classical-nya. Saat ini sulit membedakan secara hitam putih negara mana saja yang menggunakan Neo Keynesian ataupun Neo Classical. Praktiknya ini bercampur aduk. Dan inilah seninya mengutak atik perekonomian tanpa harus terjebak dalam jargon-jargon sebatas kulit Neo-Liberal, Neo-Pemerintah bahkan Ultra Liberal, Ultra Pemerintah. Kalau ini yang didebatkan maka tidak ada bedanya kita memperdebatkan judul buku tanpa pernah membaca isinya. Banyak negara berkembang yang menjadi laboratorium ekonomi negara maju dalam uji coba Classic, Neo Classic, Keynes dan Neo Keynesian. Uji coba tersebut dipaketkan dalam pinjaman. Namanya aneka rupa, pinjaman lunak setengah lunak dan sebagainya. Sedihnya negara berkembang tersebut karena memang gemar berutang atau gampang dibujuk supaya ngutang mau saja menerima syarat-syarat utang tersebut. Sayangnya Indonesia juga tak luput dari itu. Seorang ekonom peraih Nobel ekonomi, Rodiger Dornbush, dalam salah satu artikelnya mengatakan bahwa laboratorium yang paling mahal biayanya adalah laboratorium ekonomi. Koperasi harus bertumpu pada kemampuan domestik bukan asing. Tingkatkan tabungan nasional. Negara dan masyarakat harus lebih banyak menabung untuk membiayai investasi guna memacu pertumbuhan. Per Februari 2009, jumlah tabungan masyarakat Indonesia di bank umum hanya 35,7% PDB. Negara juga harus bertumpu pada tabungan bukan utang untuk membiayai defisit anggaran. Kebiasaan buruk ini ternyata tidak berubah sejak Orde Baru berkuasa. Selain itu tingkatkan ekspor.

Pada 2008 ekspor mencapai 29% dan impor 27% dari PDB. Atau netonya hanya 3% PDB. Tingkatkan ekspor komoditas produk usaha kecil dan menengah. Ini tidak sebatas hasil kerajinan tangan. Naikkan penerimaan pajak dan cukai tanpa mendistorsi distribusi pendapatan. Pajak bukan sekadar mesin uang negara tapi juga alat distribusi pendapatan supaya adil pembagiannya. Sikat habis kebocoran negara. Uang negara sebagian besar dari pajak. Pada 2008, penerimaan perpajakan diperkirakan mencapai Rp 641,0 triliun atau 105,2 persen dari target APBN-P (RAPBN 2009). Revisi cetak biru pembangunan ekonomi regional sehingga terjadi interaksi perdagangan antardaerah: barang, jasa dan keuangan yang simetris. Saat ini hanya searah dari atau ke kota-kota besar. Ini hanya akan memperbesar ketimpangan pendapatan per kapita. Tujuan desentralisasi adalah menciptakan pusat-pusat kekuatan ekonomi baru di daerah. Bukan bagi-bagi kekuasaan politik yang ujung-ujungnya masih bergantung pada dana alokasi umum dan khusus dari APBN. Alokasi dana transfer ke daerah terus meningkat seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dari Rp81,1 triliun pada 2001 menjadi Rp253,3 triliun pada 2007, dan diperkirakan menjadi Rp293,6 triliun pada 2008, atau tumbuh rata-rata sebesar 20,2% per tahun (RAPBN 2009). Daerah harus bisa mengolah potensinya dengan melibatkan koperasi dan tidak bergantung pada kekuatan asing.

Tidak ada komentar: